Senin, 02 Desember 2013

ASAL USUL SUKU NIAS


Nias ( tanÖ niha )  adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat Sumatra menghadap Samudra Hindia. Tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni oleh manusia, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Niaslah yang berpenghuni paling padat, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Koestoro, Wiradnyana, 2007). Pulau yang terkenal dengan budaya megalitiknya ini menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai asal-usul leluhur orang Nias saat ini. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak tertua di Nusantara.



Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur Orang Nias
mitos/cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah :


sowanua atau ono mbela.

Ono mbela merupakan keturunan penguasa kayangan, Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang biasanya merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, sebagian di antara mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain memilih tinggal di atas pohon. Anak turun Ibu Sirici yang memilih tinggal di atas pohon inilah yang kemudian disebut sebagai sowanua atau ono mbela (manusia pohon). Ono mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik ((Hammerle, 2007). Ciri-ciri fisik tersebut mengundang para peneliti untuk membuat sebuah interpretasi bahwa ono mbela berjenis kelamin perempuan.

Lantas ke mana perginya anak turun Ibu Sirici yang jatuh ke tanah? Menurut sebuah versi hoho yang lain, mereka kemudian menyelamatkan diri dengan mencari perlindungan di gua-gua.

Mereka tidak lagi disebut sebagai ono mbela tetapi nadaoya atau manusia yang menghuhi gua. Secara fisik keduanya berbeda. Jika ono mbela dikenal memiliki kulit putih dan berparas cantik, maka nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Besar kemungkinan keduanya sudah tergolong bangsa manusia, namun berasal dari ras yang berbeda, bukan satu keturunan. Lantaran keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penduduk Nias waktu itu, juga tata cara hidup yang berbeda, asal-usul keduanya kemudian cenderung dimitoskan karena dianggap memiliki nenek moyang yang berbeda dengan manusia pendatang. Apa yang dijelaskan hoho ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah.

Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal adalah di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli. Jejak kehidupan tersebut dapat ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul, dan pipisan (Wiradnyana, 2006). Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan (pisces), ular (ophodia), kura-kura (rodentia), kelelawar (chiroptera), hewan berkuku genap (artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda (Wiradnyana, 2008).

Di Nias juga berkembang hoho yang lain, tepatnya di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Hoho ini terkait dengan nama Gomo untuk kecamatan yang dimaksud. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah (Hammerle, 2001). Dahulu kala, terdapat rombongan manusia perahu berasal dari daratan Asia yang terombang-ambing di tengah samudra yang kemudian terdampar di Nias. Meskipun Hammerle mengakui pendapatnya ini tidak memiliki cukup bukti ilmiah, namun tafsir yang dikemukakannya cukup masuk akal. Ia menghubungkan perahu dengan sejarah asal-usul suku Nias yang datang dari seberang lautan. Mereka terdampar di pantai sekitar muara sungai, lalu membangun rumah (omo) di pinggir sungai yang sekarang dikenal dengan Sungai Gomo. Jadi, kata gomo ada hubungannya dengan owo (perahu) dan omo (rumah) (Sonjaya, 2008).

Meskipun hoho yang berkembang di Nias tidak hanya seperti yang disebut di atas (karena hampir setiap marga memiliki hoho-nya masing-masing), namun ketiga hoho inilah yang sampai saat ini paling diyakini sebagian besar orang Nias. Dilihat dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari yang digunakannya, yaitu bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut. Secara genealogis, bahasa Nias tergolong rumpun bahasa Austronesia. Ciri dialek bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Reuter (2005), bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Madagaskar di ujung barat —melintasi Asia Tenggara Daratan maupun Kepulauan hingga ke arah timur melintasi kawasan Pasifik yang berujung di Selandia Baru dan Hawaii. Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam.

Dilihat dari topografinya, Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman, di kampung-kampung yang saling mengisolasi, dan berprofesi sebagai petani.

Meskipun metode bertani masyarakat Nias masih bersifat sederhana, tetapi mereka tetap mampu menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Akhir-kahir ini –setelah dikelola lebih serius— sektor pariwisata juga merupakan tulang punggung perekonomian penduduk Nias. Di bidang pariwisata, potensi wisata Nias terletak dijalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan, yaitu Kecamatan Lolowa‘u –Gomo— Pulau-pulau Batu. Porosnya terletak di omo hada, rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam

B. Konsepsi Leluhur Orang Nias

Untuk mengetahui lebih jelas dari mana asal-usul atau leluhur orang Nias saat ini, perlu disebutkan terlebih dahulu sejarah lisan yang berkembang di Nias mengenai pembagian kelompok etnis yang ada di pulau ini. Masyarakat Nias meyakini terdapat tiga kelompok etnis berbeda yang pernah —bahkan sampai saat ini keturunannya dianggap masih tinggal di Nias, yaitu: (1) Niha sebua gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan ciri manusia purba yang hidup ribuan tahun lalu dan tinggal di gua-gua, sehingga mereka juga disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou). Dalam hoho di atas mereka disebut nadaoya; (2) Niha safusi,yaitu kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho di atas mereka disebut sebagai ono mbela; (3) Lani ewöna, yaitu bangsa manusia yang sudah dikategorikan sebagai homo sapiens yang bermigrasi dari seberang lautan dengan keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi dari kedua pendahulunya, sehingga mereka berpengaruh besar dan membawa transformasi sosial di Nias. Kelompok etnis inilah yang selanjutnya memproklamirkan diri sebagai ono niha (orang Nias)

Namun, seiring berjalannya waktu, dan seolah-olah mengamini ramalan Teori Evolusi, hanya kelompok etnis lani ewöna lah yang sanggup bertahan hidup di Pulau Nias. Mereka memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga sanggup bertahan hidup tidak hanya dari mengandalkan sumber pangan yang tersedia di alam tetapi memiliki ketrampilan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam. Kemampuan inilah yang diduga banyak arkeolog telah membuat manusia ini sanggup bertahan hidup dalam waktu yang lama. Berbeda dengan kedua pendahulunya yang sangat tergantung dengan alam. Ketika sumber pangan yang tersedia di alam semakin menipis, mereka akhirnya terdesak dan kemudian punah.

Sebelum dapat dipastikan bahwa hanya lani ewönalah yang merupakan leluhur manusia Nias saat ini, perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang kedua pendahulunya secara lebih lengkap karena hal ini dapat membantu mencari tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka menjadi punah. 1. Ono mbela atau Niha Safusi

Sebagaimana disebut di atas, ono mbela adalah mahluk yang hidup di atas pohon. Di kalangan orang Nias, terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai mahluk ini. Sebagian penduduk Nias meyakini bahwa ono mbela adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di Nias. Sedangkan sebagian yang lainnya menganggap ono mbela bukan manusia, melainkan mahluk gaib yang menguasai segala macam binatang di hutan. Namun, mengenai ciri fisik yang dimiliki ono mbela, masyarakat Nias tidak berselisih pendapat. Ono Mbela memiliki rambut putih, kulit putih, berparas cantik, dan mata biru seperti orang Eropa.

Ono mbela sudah menghuni Nias jauh sebelum ono niha datang ke pulau ini. Ono mbela kemudian kalah bersaing dengan kelompok pendatang dan seringkali “dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari golongan manusia. Dengan nada sombong, para pendatang ini kemudian menegaskan dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang berhak menghuni pulau Nias. Akibat dominasi dari pendatang yang memiliki teknologi dan kebudayaan yang lebih maju, ono mbela mulai terdesak, dan akhirnya mengundurkan diri hingga tidak dapat dijumpai lagi

Sayang, usaha untuk membuktikan bahwa ono mbela adalah manusia selalu terbentur dengan data. Sejauh ini, belum ditemukan –bahkan tidak akan pernah –artefak-artefak yang menjelaskan bahwa mahluk ini pernah hidup di Nias. Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, karena jejak-jejak di tempat terbuka memang lebih mudah terhapus atau hilang karena proses alam atau aktivitas manusia, seperti pembakaran hutan dan perladangan yang intensif.

Untuk menjelaskan keberadaan ono mbela di Nias, ada dua hipotesis yang dapat diajukan. Hipotesis pertama menyebutkan bahwa ono mbela adalah ras Australomelanesid, manusia pertama yang menghuni wilayah Asia Tenggara. Seiring berjalannya waktu, keberadaan mereka kemudian menjadi mitos bagi masyarakat Nias dari generasi baru sesudahnya. Hipotesis yang kedua menyebutkan bahwa ono mbela merupakan ras Mongoloid yang datang lebih awal ke Nias yang sebenarnya sudah membawa kebudayaan neolitik, namun tidak berkembang di Nias karena kondisi lingkungan menuntut para pendatang ini mengembangkan tradisi perburuan (Sonjaya, 2008).

2. Nadaoya atau Niha Sebua Gazuzu

Nadaoya dianggap sebagai salah satu makhluk yang mungkin telah hidup sezaman dengan ono mbela. Hal ini dibenarkan oleh salah satu hoho yang berkembang di Nias, bahwa antara ono mbela dan nadaoya berasal dari satu keturunan, yaitu Ibu Sirici. Dilihat dari ciri fisiknya, nadaoya berkulit gelap dan memiliki kepala yang besar. Mereka diduga adalah manusia purba dari ras Austromelanesid yang hidup di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua, sebagaimana umumnya manusia purba lainnya.

Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias yang berkembang di Nias, nadaoya digambarkan sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali, aksentuasi bunyinya tidak jelas, dan terdengar patah-patah. Bagi orang Nias, bertemu dengan nadaoya adalah sebuah malapetaka. Sebab, kalau mereka lewat dan bertemu dengan manusia, mereka akan langsung memangsa manusia tersebut. Sampai saat ini, cerita tentang kejahatan nadaoya masih berkembang. Jangankan bertemu, menyebut nama nadaoya saja adalah hal yang menakutkan bagi masyarakat Nias. Apalagi kalau penyebutan itu dimaksudkan untuk mengutuk orang lain: ya mu‘a ö nadaoya ya mana ndraugö nadaoya (semoga nadaoya mamangsa engkau). Ungkapan ini adalah sesuatu yang keras dan ditakuti orang Nias.

Kalau dikaji tentang asal-usul masyarakat Nias, lalu dihubungkan dengan bukti-bukti material yang terdapat di dalam gua-gua (seperti artefak-artefak yang ditemukan di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli) dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di atas, maka nadaoya merupakan kelompok manusia purba yang pernah tinggal di Nias dan menganut hukum rimba. Mereka sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan

Jika kita merujuk pada data arkeologis yang dipublikasikan Badan Arkeologi Medan, nadaoya benar-benar pernah hidup di Nias. Mereka tinggal di gua-gua sejak 12.000 tahun yang lalu, bahkan berlanjut hingga tahun 1150-an. Mereka memanfaatkan biota laut dan mangrove. Budaya yang mereka miliki disebut budaya Hoabinh, sebuah praktek kehidupan yang memanfaatkanbatu-batuan sebagai alat bantu yang disebut Sumatralith, mirip dengan teknologi yang digunakan manusia purba di wilayah Hoabinh, Vietnam
Dilihat dari rentang masa hidupnya, kemungkinan besar nadaoya pernah hidup dalam waktu yang bersamaan dengan kelompok pendatang. Hanya saja, karena manusia gua belum mengenal teknologi bercocok tanam, akhirnya mereka kalah bersaing dengan manusia pendatang. Akibatnya, kelompok mereka lambat-laun lenyap, dalam arti punah, atau sebagian membaur dengan kelompok pendatang dalam jalinan pernikahan atau hubungan ekonomi (tuan-budak)

Terkait dengan kondisi di atas, Sonjaya (2008) dengan sangat baik membuat analogi mengenai interaksi antara manusia gua dengan kelompok pendatang. Interaksi antara manusia gua dengan kaum pendatang mirip interaksi antara masyarakat Baduy dengan masyarakat Jakarta. Jakarta sudah berbudaya metropolis, sedangkan Baduy berbudaya ladang yang masih menggunakan beliung batu untuk bercocok tanam. Dalam waktu yang sama dan wilayah yang sama (Jawa bagian Barat) berkembang dua kebudayaan yang secara teknologis sangat berbeda ibarat bumi dan langit. Perlahan-lahan Baduy sedang berubah karena gencarnya pengaruh globalisasi dari Jakarta. Suku yang menurut Yuanzhi (2005), sebagai salah satu suku tertua di Nusantara, dan sudah bertahan ratusan bahkan ribuan tahun ini barangkali tidak lama lagi akan punah karena meluruhnya sekat-sekat budaya, sosial, dan ekonomi di antara keduanya. Kehidupan manusia gua dengan kelompok pendatang di Nias pada abad-abad yang lalu dapat dibayangkan seperti kehidupan antara orang Baduy dengan orang Jakarta.

3. Lani Ewöna atau Ono Niha

Menurut Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008).

Konon, ketrampilan orang Nias dalam membuat patung kayu, menhir, benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak, diwarisi dari orang-orang Yunan yang datang ke pulau ini. Hipotesis ini bertambah kuat jika melihat peralatan dan gaya arsitektur di Nias. Pengaruh itu berupa motif kepala naga (hewan yang melegenda di Cina) yang terdapat pada pegangan atau gagang pedang, bagian depan rumah bangsawan, peti mayat, dan sejumlah megalit di daerah Lahusa dan Gomo (Hammerle, 2007).

Kelompok pendatang ini juga tidak lagi tergantung dengan alam, karena sudah mengenal tata cara bercocok tanam dan food producing. Mereka sudah tinggal menetap. Banyaknya waktu luang juga telah mendorong mereka memikirkan dan membayangkan hal-hal yang abstrak, seperti keindahan.Ekspresi keindahan tersebut dapat dilihat pada manik-manik yang terdapat di pakaian orang Nias dan gelang yang dipakai di lengan dan kaki. Dilihat dari periodenya, masa ini disebut sebagai zaman neolitikum yang ditandai dengan kemampun food producing dan benda-benda kebudayaan, seperti tembikar, kapak batu, patung, dan lain-lain. Atas keunggulannya itu, para pendatang dari Yunan yang berkebudayaan neolitik kemudian memproklamirkan diri sebagai kelompok pertama yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan sebagaimana diekspersikan manusia Nias saat ini. Mereka juga menyebut dirinya sebagai anak manusia yang berbeda dengan kelompok manusia yang tinggal di pohon dan di gua, seperti ono mbela dan nadaoya (Sonjaya, 2008).

Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias melalui Pelabuhan Singkuang, Tapanuli Selatan. Apabila dilihat di peta, Kota Singkuang terletak persis di sebelah utara pantai barat Sumatra. Mereka kemudian bergerak ke arah barat dan sampai di wilayah Lahusa dan Gomo, yang sekarang ini menjadi pusat pemerintahan tingkat kecamatan. Jarak yang ditempuh sekitar 110 kilometer, lebih dekat dibandingkan perjalanan dari Sibolga menuju Gunung Sitoli. Sampai sekitar 500 tahun yang lalu, pusat perkembangan kebudayaan Nias masih terletak di tepi Sungai Susua dan Gomo (Hammerle, 2007). Jika dihubungkan dengan salah satu hoho yang berkembang di Nias, khususnya di Kecamatan Gomo, hipotesis ini bertambah kuat. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah. Owo merujuk pada alat transportasi yang digunakan oleh orang-orang Yunan waktu itu, yaituperahu. Gomo merujuk pada wilayah yang dihuni, yaitu di daerah Gomo. Sedangkan omo merujuk pada rumah yang dibangun di sekitar pinggiran Sungai Gomo (Sonjaya, 2008).

Kedatangan orang-orang Yunan dengan kemampuan teknologi yang lebih maju inilah yang disinyalir telah mendesak keberadaan ono mbela dan nadaoya. Karena kalah bersaing dalam memperebutkan sumber daya alam, mereka lama-kelamaan menjadi punah (Nata‘alui Duha, 2008). Secara lebih sistematis, penyebab kepunahan ono mbela dan nadaoya kira-kira dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Pertama, berlakunya hukum rimba. Manusia purba menganut hukum rimba, siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan dapat bertahan hidup. Ketika orang Yunan datang ke Nias, dengan berbagai keunggulan pengetahuan dan teknologinya, secara logika mereka lebih kuat dibanding dengan ono mbela dan nadaoya. Sebab, mereka tidak hanya mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup, tetapi juga otak. Ono mbela dan nadaoya yang terdesak kemudian mengasingkan diri. Karena hanya mengandalkan ketersediaan pangan dari alam, mereka akhirnya punah karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial yang terus berubah dan sumber pangan yang semakin menipis. Mungkin juga telah terjadi peperangan di antara mereka yang disebabkan oleh perbedaan etnis. Kaum pendatang yang menguasai teknologi lebih maju, akhirnya memenangkan peperangan tersebut.

Kedua, sumber daya alam yang menipis. Lantaran manusia purba seperti kelompok ono mbela dan nadaoya sangat bergantung pada alam, maka ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang dan akhirnya punah.

Ketiga, pembauran melalui perkimpoian. Persinggungan antara kelompok pendatang dengan kelompok-kelompok asli tidak hanya berujung pada persaingan dan peperangan saja, tetapi juga sangat mungkin telah terjadi perkimpoian di antara mereka. Terlebih lagi –seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok ono mbela itu cantik-cantik, sehingga sudah barang tentu, suka atau tidak suka, mereka potensial dikimpoii oleh kaum pendatang yang lebih pintar. Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai kelompok ono mbela atau nadaoya, tetapi mengikuti garis keturunan kelompok yang lebih dominan dan berkuasa. Mengenai hal ini, Hammerle (2001) mengusulkan kepada para peneliti untuk meneliti DNA manusia Nias saat ini untuk menguji apakah telah terjadi pembauran secara genetik antara kelompok pendatang dengan kelompok asli.


Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang siapa sebenarnya leluhur orang Nias atau ono niha saat ini adalah lani ewöna, imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian selatan. Meskipun kesimpulan ini juga tidak menampik fakta (jika telah dibuktikan secara ilmiah) bahwa telah terjadi perkimpoian antara lani ewöna dengan ono mbela dan nadaoya. Namun, jika dilihat ciri-ciri fisik orang Nias saat ini, yaitu berkulit putih, bermata agak sipit, bertubuh gempal dan pendek, pendapat yang mengatakan bahwa leluhur orang Nias berasal dari Yunan sangat beralasan, karena pada umumnya orang-orang Cina juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama.

Setelah beratus-ratus, bisa juga beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo).

Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Menurut Ama Watilina Hia, tokoh adat di Börönadu, nenek moyang orang-orang di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam berasal dari Börönadu. Orang-orang Gunung Sitoli adalah keturunan orang Börönadu yang bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang Börönadu yang bernama Sadawamölö (Sonjaya, 2008).

Sejarah lisan ini diperkuat oleh pendapat M.G. Thomsen dalam bukunya yang berjudul Famareso Nhawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalithkultur) Ba Dano Nias (1976) yang menyebutkan bahwa perpindahan marga-marga besar dari Börönadu ke tempat-tempat lain berlangsung antara 26 sampai 40 generasi yang lalu (Sonjaya, 2008). Satu generasi sama dengan 25 tahun. Sayangnya, pendapat Thomsen tersebut tidak diikuti dengan penjelasan ke mana persebaran orang-orang Börönadu tersebut. Lebih jelasnya sebagai berikut:

“Telambanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang lalu. La‘ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Dan Hulu bersama klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.”

Sejak proses persebaran tersebut, marga-marga besar di Nias mulai terbentuk, yang berujung pada munculnya bibit-bibit persaingan dan permusuhan antarsesama orang Nias. Bagi orang Börönadu, orang-orang yang meninggalkan Börönadu dianggap sebagai orang yang tidak menghormati adat dan leluhur, meskipun proses perpindahan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh faktor-faktor pragmatis, seperti mencari sumber kehidupan yang lebih layak menuju daerah yang lebih makmur, karena secara geografis Börönadu memang terpencil.

Setelah peristiwa tersebut, persaingan antarmarga semakin kuat dan atmosfirnya masih terasa hingga sekarang. Suasana interaksi antarmarga dan antarkampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap marga berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan identitas yang paling unggul. Fenomena ini sejalan dengan Teori Identitas Sosial, yang berasumsi bahwa pada dasarnya setiap individu yang tergabung dalam kelompok sosial tertentu cenderung akan membangga-banggakan kelompoknya sendiri, dan menganggap kelompok yang lain lebih buruk atau rendah (Deschamps, 1982).

Titik puncak dari suasana persaingan dan permusuhan tersebut adalah berlakunya tradisi owasa (pesta 3 hari tiga malam dengan mengorbankan puluhan, bahkan ratusan babi) dan tradisi mangani binu (memburu kepala manusia), yang diperkenalkan pertama kali oleh tokoh bernama Awuwukha, manusia digdaya yang hidup di Nias pertengahan abad ke-19. Tradisi tersebut adalah simbol identitas dan kebanggaan orang Nias. Harga diri seseorang ditentukan oleh berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia dari marga lain yang telah dipenggal. Mekipun tradisi ini mulai menyusut pengaruhnya semenjak para misionaris Barat mewartakan agama Kristiani di pulau ini pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M, suasana permusuhan yang terwarisi secara lintas generasi tersebut ternyata tidak hilang sepenuhnya, dan masih berdampak pada pembentukan kepribadian orang Nias saat ini. Wajar saja –jika orang Nias kemudian dianggap memiliki kecurigaan yang tinggi dan cenderung menutup diri ketika berhadapan dengan orang asing (Hammerle, 2001).

C. Implikasi Sosial

Di bagian ini akan dibahas implikasi-implikasi sosial sebagai bagian dari konsekuensi pemahaman orang Nias terhadap leluhur mereka. Orang Nias adalah kelompok etnis yang sampai saat ini masih cukup kuat memegang teguh tradisi, yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya. Tradisi menjadi semacam sarana yang dapat menjadi jembatan komunikasi antara orang Nias saat ini dengan leluhurnya, dan juga dapat berfungsi sebagai media untuk mengukuhkan identitas sosial.

Terkait dengan tradisi penghormatan terhadap leluhurnya, orang Nias mempraktekkan ritual-ritual tertentu agar hubungan baik dengan leluhur tetap terbina. Orang Nias mewarisi sebuah tradisi yang kompleks dari leluhurnya. Mereka memraktekkan banyak ritual, karena hampir setiap peristiwa kehidupan dihayati dan dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Namun, bagian ini tidak bermaksud menjelaskan itu semua. Bagian ini hanya berusaha membabarkan ritual-ritual khusus yang secara langsung berkorelasi dengan penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur orang Nias.

Di atas telah dijelaskan tentang ono mbela, mahluk yang dianggap sebagai salah satu leluhur orang Nias, meskipun di Nias sendiri terjadi perbedaan pendapat apakah ono mbela merupakan generasi pertama penghuni Pulau Nias, atau sebangsa mahluk halus. Terlepas dari pendapat mana yang benar, yang pasti keberadaannya sampai saat ini masih berpengaruh cukup kuat terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Nias.

Ono mbela adalah mahluk yang tinggal di atas pohon, yang berkuasa atas kehidupan seluruh marga satwa di hutan. Sehingga, ketika orang Nias hendak berburu binatang di hutan, mereka harus menyelenggarakan ritual persembahan sebagai bentuk penghormatan (dalam bahasa jawa pamit) kepada ono mbela. Ritual persembahan tersebut dilaksanakan dengan cara mengorbankan anak babi atau ayam berbulu putih di bawah pohon besar di hutan yang dianggap sebagai rumah ono mbela.Setelah memberi persembahan tersebut, si pemburu kemudian pulang ke rumah dan wajib melakukan puasa selama empat hari. Selama berpuasa, ia tidak boleh berdusta dan tidak boleh berpergian ke mana-mana. Setelah puasa selesai ditunaikan, ia baru diperbolehkan pergi ke hutan untuk berburu (biasanya ditemani anjing) (Sonjaya, 2008).

Ritual tersebut seolah-olah menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan antara orang Nias dengan ono mbela selalu berada dalam situasi permusuhan. Bahkan di daerah Börönadu, ono mbela lebih populer dengan sebutan belada, yang artinya adalah sahabat atau kawan. Dengan demikian, fakta ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwapunahnya ono mbela di wilayah Nias bukan karena direndahkan atau diperangi oleh orang Nias (ono niha), melainkan lebih karena faktor seleksi alam sebagaimana berlaku dalam Teori Evolusi, yaitu kalah bersaing dalam hal teknologi dan kebudayaan.

Dengan aksentuasi nilai yang berbeda, di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala. Kepala yang dimaksud bukanlah kepala hewan, melainkan kepala manusia. Bagi pihak yang kurang memahami budaya Nias secara lebih utuh, tradisi ini mungkin dianggap sebagai kebiadaban –praktek kebudayaan paling keji– yang pernah dibuat oleh anak manusia. Bahkan, seringkali terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tuduhan bahwa orang Nias dulunya adalah termasuk suku kanibal, sebagaimana diungkapkan oleh Masashi (2005). Mengenai hal ini dia menulis: “In the tenth century, Ajä‘ib al-Hind described the people between Fansur (present day Barus) and Lambri and those in Kedah and the island of Nias as cannibals.”

Meskipun secara moral tradisi mangani binu tidak dibenarkan, namun dengan menelusuri konteks sosio-historis masyarakat Nias zaman dulu, diharapkan akan ditemukan titik terang mengapa tradisi ini bisa berlaku. Dalam sejarah lisan yang berkembang di Nias, tradisi mangani binu tidak dapat dipisahkan dari legenda Awuwukha, sosok manusia digdaya yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-19 M. Mengenai kapan persisnya Awuwukha pernah hidup, telah terjadi silang pendapat. Menurut Sonjaya (2008), Awuwukha hidup sekitar 5 generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) yang lalu. Sedangkan menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar 7 generasi yang lalu. Untuk membuktikan pendapat siapa yang lebih benar, menurut Zebua perlu dilakukan pembuktian triangulasi, mencari sumber pembanding lainnya yang dianggap lebih valid.

Sejenak kita lupakan dulu silang pendapat di atas, karena mengetahui siapa sosok yang dimaksud sebagai Awuwukha jauh lebih penting. Mengenai tradisi mangani binu yang identik dengan sosok Awuwukha, Sonjaya menceritakan faktor pencetus tradisi tersebut sebagai berikut:

“…..kira-kira pertengahan abad ke-19, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Pada suatu hari, datanglah ke Börönadu seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar. Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey, lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?” teriak perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha. Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu.”

Selang beberapa hari kemudian, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Börönadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung– terbelalak melihat kejadian tersebut. Sambil menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya– Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian:

“……dengan langkah tenang Awuwukha pulang dengan membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan dengan hal itu. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya dibawa hidup-hidup. Laimba sadar betul bahwa dengan kejadian tersebut pertumpahan darah pasti akan berlanjut.” (Sonjaya, 2008: 65).

Dugaan Laimba terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya berujung pada kegagalan. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.

Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya. Jika ia meninggal nanti, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam kubur: satu orang menyiapkan minum, satu orang menjaga, satu orang untuk menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang, dan satu orang sebagai tukang pijat (Sonjaya, 2008). Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangani binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur. Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya sekedar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan. Sebab, mangani binu kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias. Ia tidak hanya diselenggarakan untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya saja, tetapi kemudian juga dipraktekkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya, misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias). Mengenai hal ini, Yupiter Bago (dalam Zebua, 2008) berkomentar:

“Produk budaya megalitik Nias justru lebih banyak ditopang oleh tradisi sawuyu dan binu, ketimbang tradisi gotong royong. Banyak omo sebua, misalnya, didirikan dengan tenaga sawuyu,menyembelih sawuyu, memenggal kepala ‘kepala tukang‘-nya, bahkan menyajikan beberapa butir kepala (binu zimate) yang didapatkan lewat ekspedisi ‘moi badano‘ ke banua (kampung) lain.


Bahkan, tradisi mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelakunya saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap telah berhasil melahirkan keturunan yang hebat (Hammerle, 2001). Interkoneksi antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial yang tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias.

Berbicara tentang tradisi mangani binu di Nias terasa belum lengkap jika tidak membahas sebuah ritual yang disebut famaoso dola, atau pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur. Upacara ini biasanya berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu perburuan ditempatkan di atas kuburan bangsawan pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologis orang Nias. Ada keyakinan yang berkembang di Nias bahwa leluhur yang sudah mati itu akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali ketika kepala-kepala hasil buruan itu dipersembahkan (Zebua, 2008). Orang Nias meyakini bahwa roh para leluhur dapat mengendalikan alam dan kehidupan manusia. Dalam kebudayaan yang animistik, manusia selalu berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para roh leluhur agar kehidupan dapat berjalan secara harmonis. Untuk menjalin hubungan itu, orang Nias mengenal larangan yang disepakati bersama, salah satunya tidak boleh menyebut nama leluhur secara sembarangan. Menurut aturan, jika nama leluhur hendak disebutkan, maka harus diberi persembahan terlebih dahulu, berupa makanan yang menjadi kesukaan roh yang bersangkutan. Jika larangan tersebut dilanggar, maka orang yang melanggar biasanya akan mendapat celaka (Sonjaya, 2008).

Namun, setelah ajaran Kristiani mulai menancapkan pengaruhnya di Nias sejak akhir abad ke19, ritual-ritual adat di Nias mulai ditinggalkan. Ajaran Kristen yang melarang antar sesama manusia saling membunuh, mengutuk tradisi pemujaan terhadap roh leluhur, melarang mendirikan menhir dan membuat patung untuk mengenang leluhur yang sudah meninggal, melarang pesta-pesta besar karena terlalu boros, membuat pengaruh adat pelan-pelan semakin berkurang (Sonjaya, 2008). Namun, keberhasilan misi Kristiani di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut menjadi bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti ritual famaoso dalo (mengangkat kepala). Contoh lainnya adalah tradisi lompat batu di Nias. Menurut sejarahnya, tradisi lombat batu baru berkembang di Nias bersamaan dengan hadirnya para zendeling di pulau ini. Tradisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus tradisi berburu kepala. Simbol kehebatan yang pada awalnya ditentukan oleh seberapa banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal berusaha diganti dengan kemampuan melompati batu yang tinggi (Zebua, 2008).

Tradisi Lompat Batu di Nias

Bagi orang Nias yang meyakini iman Kristiani sebagai panduan hidupnya, tradisi leluhur di atas memang sudah sepatutnya ditinggalkan. Jika mengenang tradisi leluhurnya yang banyak menampilkan sisi gelap, orang Nias seolah-olah berjuang keras untuk melawan beban sejarah dan trauma yang mendalam. Hal ini terbaca ketika orang Nias saat ini memberikan komentar atas tradisi leluhurnya.

“Mengenai tradisi mangani binu dalam budaya megalitik Nias, saya anggap hanya untuk mengingatkan sejarah budaya dan penegasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan era religi dan hak azasi manusia. Saya percaya tradisi mangani binu sudah lama lenyap di bumi Nias. Saudaraku, marilah kira berusaha dengan talenta kita masing-masing untuk mengangkat nilai-nilai luhur budaya ono niha yang bersemangat membangun bersama.”
SUMBER : http://budayaniasku.blogspot.com/p/asal-usul-suku-nias.html


Keindahan Alam Sumatera Utara


Sumatra utara memiliki begitu banyak tempat yang sangat indah yang sayang kalau tidak di kunjungi, makanya saya mau kasih sedikit info tentang keindahan alam Sumatra utara (walaupun motivasi awalnya karna saya mau promosiin daerah asal saya itu, hihihi ).
mungkin tempat2 wisata yang akan saya posting kali ini hanya sebagian kecil dari tempat2 wisata yang ada di Sumatra utara, dan mungkin juga udah familiar di telinga kita, namun ga ada salah nya kan saya ulas kembali, siapa tau ada yang tambah tertarik berkunjung
saya akan kasih info daerah2 tempat wisata mulai dari kecamatan Sibolangit sampai kabupaten Dairi.
Daripada banyak basa basi lagi  mending kita langsung liat aja ni satu per satu, cekidot..
1.       Sungai Sembahe
Sungai Sembahe Sibolangit adalah wisata tempat pemandian yang sering dikunjugi oleh para wisata lokal. Air sungai Sibolangit ini mengalir diantara bebatuan besar yang ada di sungai. Selain air sungainya yang dingin, suasana di sungai sembahe ini juga sangat nyaman dan udaranya begitu sejuk dan dingin ditempat tersebut pengunjung juga bisa menikmati makanan hangat yang dijual di tempat itu. Untuk bisa masuk ke tempat wisata ini, cukup membayar Rp.8000 saja, tempat nya juga mudah ditemui dan banyak transportasi umum dari medan yang melewati tempat tersebut.
2.       Greenhill City
Green Hill City dan Hill Park dibangun di atas lahan seluas 110 hektar, di dalamnya terdapat Hill Park yang khusus untuk sarana hiburan keluarga seluas 20 hektar. Lokasi tepatnya di Desa Sukamakmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang persis di tepi jalan lintas Medan-Berastagi, Tanah Karo. Semua fasilitas mulai dari theme park menyediakan herritage, toon town dan lost city. Herritage terdiri dari camelot castle, merry go round, bumper car, bumper boat dan amphi theater. Toon town terdiri dari convoy car, magic phone, red baron, tic-tac wheel, mini train, family swinger, three house, petting zoo, battery bike dan mini scooter. Sedangkan lost city menyediakan tele combat, jet coaster dan ferris wheel. Dan permainan paling mendebarkan roller coaster dan flume ride juga tersedia.
3. Air terjun 2 Warna
Air terjun 2 warna terletak di Desa Durin Sirugun, kaki Gunung Sibayak, Sumatera Utara. Dapat ditempuh melalui perjalanan darat, melintasi Bumi Perkemahan Sibolangit. Jarak tempuh dari Medan – Sibolangit sekitar 75km, dan dari Pintu Utama Bumi Perkemahan Sibolangit membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam untuk tiba di Air Terjun Dua Warna. Ketika memasuki Bumi Perkemahan Sibolangit di Desa Bandar Baru, anda bisa menyusuri hutan dengan hiking atau jalan kaki santai selama 3 jam, dan untuk menghindari tersesat, ada baiknya Anda harus dibantu oleh pemandu lokal. Mendaftarlah di pos penjagaan dan melapor akan menuju Air Terjun Dua Warna. Air Terjun Dua Warna berketinggian 100 meter, bersumber dari Gunung Sibayak, dan air yang turun dari sungai atas akan tertampung ke sebuah danau kecil. Warna air terjun ini yaitu biru muda dan putih keabu-abuan, karena kandungan phospor dan belerang yang akan menghasilkan warha biru muda. ersiapan yang harus dibawa selama menuju Air Terjun Dua Warna juga harus Anda pikirkan  Sepatu untuk hiking, air minum dan baju ganti jika Anda ingin mandi selama di Air Terjun Dua Warna.
tempat ini merupakan salah satu tempat yang paling ingin saya kunjungi, kalau suatu saat ada libur  saya pasti akan menjarah tempat ini.
4. Gundaling
Bukit Gundaling adalah salah satu obyek wisata di Brastagi, yang berjarak kurang lebih 3 km dari pusat kota Brastagi. Bukit yang memiliki ketinggian 1575 dari permukaan laut, ini sangat nyaman sebagai tempat rekreasi keluarga. Dari atas bukit ini pula kita dapat menikmati panorama gunung berapi Sibayak dan Sinabung
Bukit ini ditumbuhi oleh pohon kayu dan bunga-bungaan yang sudah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda yang merupakan tempat rekreasi bagi remaja, keluarga, para Wisatawan Mancanegara dan Nusantara.
5. Taman simalem (pearl of lake toba)
Taman simalem terletak di kawasan Bukit Merek-Sidikalang (disinilah kampung ku, tapi aku belum pernah kesan, cuman nompang lewat doang ) jadi pengen pulang kampung  Objek wisata ini menghadirkan pemandangan Danau Toba dari sudut pandang yang sangat luas. Luas areal kawasan wisata ini mencapai 206 ha dgn lebih dr 25 ha telah ditanami berbagai jenis tanaman. Taman simalem dilengkapi berbagai fasilitas modern dan pilihan rekreasi antara lain wisata alam, agrowisata, lounge-cafe, dan resort/villa yang masih dalam rencana pembangunan. Objek wisata ini akan berprospek tinggi karna didukung fasilitas yang sangat modern dengan objek alam yg spektakuler berikut adalah fasilitas yang sudah tersedia dan bisa dinikmati
Pangambatan Valley {pusat pembibitan bunga dan gazebo tepi sungai untuk berpiknik}
Biwa,Marquisa & Orange Farm {Kebun buah2 an yang ditanam secara alami}
Kodon-kodon Cafe {Gazebo dengan pemandangan Danau Toba yg indah}
Toba Cafe {layanan cepat saji dengan pemandangan lapangan golf}
Karo Agrotourism Farm {pusat penelitian & pengembangan sayuran, buah dan bunga}
Tongging Cafe {sajian makanan ringan}
Management Office {kantor pengelola dan pusat informasi}
Jungle Track & Camping Ground {hutan belantara, air terjun kembar, tempat perkemahan}
Helipad{area parkir helikopter} Selamat mencoba
6. Taman Wisata Iman Sidikalang-Dairi
Taman Wisata Iman adalah sebuah wilayah yang didirikan bukan sekadar tempat berwisata, tapi sesuai judulnya, di dalamnya kita menemukan jejak sejarah agama yang diakui di negeri ini. Intinya, bhineka tunggal ika dalam hal beragama terangkum di sana. Lokasinya yang berada di atas tanjakan dikelilingi hutan pinus dan menjadi maskot ibukota Kabupaten Dairi, Sidikalang. Banyak kalangan mengatakan, betapa lokasi TWI Dairi ini sangat spektakuler. Pesan-pesan khusus dari lokasi ini mengisyaratkan, betapa indahnya hidup berdampingan, keragaman agama pada bangsa Indonesia, menjadi kekuatan jika bersatu-padu. Intinya, dengan saling menghormati dan menghargai antar sesamanya merupakan modal dasar terbinanya persatuan dan kesatuan yang kuat dan kukuh.
7. Samosir-Danau Toba
Danau Toba yang mempesona dengan panorama pegunungan mengelilingi dan udara yang sejuk menambah kenikmatan untuk berwisata ke Danau ini. Ditengah Danau Toba terletak Pulau Samosir yang indah dan selalu ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Untuk menuju ke Danau Toba dari medan sekitar 4 jam tiba di Parapat, anda bisa mengikuti tur dengan pilihan paket-paket yang disediakan oleh Biro Perjalanan atau dapat juga mengendarai bus , sewa mobil dari Kota Medan. Di sore hari, pengunjung danau Toba ini bisa menikmati suasana yang hening sambil menikmati pemandangan matahari yang terbenam (pengalaman pribadi )
Akomodasi berupa Hotel , penginapan banyak tersedia di Parapat, juga tempat bersantap seperti, Restoran, cafe, dengan memberikan suguhan musik dengan lagu-lagu Batak maupun pop Indonesia dan Barat yang memukau pengunjung. Bagi anda yang senang berbelanja, terdapat juga tempat untuk membeli souvenir seperti baju, tas, topi, dan ulos batak dengan berbagai motif yang bagus2.. dan satu lagi, berenang di danau ini tak kalah seru nya,, pokoknya muaaantab deh
Jadi tunggu apa lagi,, ayo mampir ke Sumatra Utara, dan nikmati keindahan alam nya,, karna masih banyak tempat2 yang bagus2 selain yang udah disebutin di atas.. (ko jadi promosi ya?? haha  tapi ga papa deh.. biar pada tau semua..)

Marmoncak, Ilmu bela diri dari tanah Batak

Marmonccak
Marmonccak
Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis artikel mengenai “marmonccak”. Namun dikarenakan sulitnya mengumpulkan materi mengenai Marmonccak membuat saya lama untuk menulis artikel ini. Bagaimana tidak, kebanyakan orang Batak sudah melupakannya dan lebih bangga dengan sistem beladiri dari luar, bahkan sangat menghayatinya sehingga kebanggaan itu dibuktikan dengan banyak prestasi olah raga beladiri tingkat nasional dan dunia. Setahu saya tidak ada lagi tempat untuk belajar monsak. Di beberapa kabupaten di Sumatera Utara, di kampung-kampung orang Batak Toba, belum pernah saya temukan perguruan monsak. Saya mempunyai sejumlah kawan yang belajar silat di Tanah Batak, tapi yang mereka pelajari adalah silat dari suku lain, seperti Merpati Putih. Aku sendiri belum pernah melihat secara langsung bagaimana gerakan monsak.
Marmonccak (baca:marmonnsak) adalah suatu bela diri khas dari tanah batak, salah satu olah raga batak yang biasa digunakan para leluhur batak pada jaman dahulu kala, dalam menghadapi hidup sehari-hari, baik dalam hiburan, pernafasan maupun menghadapi tantangan dan juga untuk kesehatan manusia. Khususnya ditanah Simalungun, ilmu beladiri khas nya adalah “Mandihar” Kini istilah Dihar telah dipersempit pemahamannya menjadi Silat saja.
Dalam satu umpun pembelajaran Dihar, ada dikenal Mandihar Dear Pangurasan.

Didalamnya dipelajari gerak untuk menghilangkan Hangalan (Sengkala, Energi negatif tubuh).
Ada pula Tortour Maranggir, yaitu Olah Gerak yang memakai jeruk purut sebagai perantaranya, untuk memunculkan aura yg diharapkan.

Kita kembali ke marmonccak, marmoncak Batak identik dengan pengobatan dan pernafasan dalam penyatuan darah manusia dengan Tuhan hingga dapat menguasai tenaga dalam dan tenaga murni. Tenaga dari 3 benua, benua atas, benua tengah dan benua bawah yang ada dalam tubuh manusia pada jaman dahulu setiap manusia yang hendak mempelajari ilmu pengobatan dan ilmu perbintangan. Mossak Batak ini harus diajarkan juga jadi setiap manusia batak dulu mossak batak ini merupakan suatu keharusan untuk dipelajari.
Mossak Batak ini dirangkai dengan langkah dan jurus-jurus untuk menghidupkan dan mengaktifkan 9999 urat manusia.
Salah satu seni bela diri batak untuk penyatuan darah manusia dengan Tuhan.
Salah satu tenaga dalam yang berguna untuk membela diri dan untuk kesehatan.
Salah satu seni bela diri batak yang biasa digunakan hiburan dan atraksi pada pesta besar di tanah batak.
Salah satu seni bela diri batak yang biasa digunakan untuk menyambut para raja dan kenegaraan.
Mossak Batak sering kita dengar namun untuk mempelajarinya kita tidak tahu kemana atas dasar inilah melalui ilham yang saya terima mencoba mengemas Mossak Batak menjadi olah raga yang dapat dipelajari dan dipertandingkan. Mossak Batak ada sembilan peringkat atau sabuk, sama dengan kitab Siraja Batak hanya saja dalam Mossak Batak ini dimulai dari kitab ke sembilan menjadi sabuk pertama.
Sabuk atau peringkat pada perguruan seni bela diri batak:
1. Sabuk Tapak Pagar
Ket: Dalam sabuk atau peringkat ini dipelajari dasar seni bela diri batak, mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat dilakukan dengan langkah menjaga muka, belakang, kiri dan kanan.
2. Sabuk Desa Nawalu
Ket: Dalam peringkat ini Mossak Batak mempelajari langkah delapan penjuru mata angin dan langkah pane nabolon yang berada dalam satu desa selama tiga bulan sesuai dengan kitab Pane Nabolon.
3. Sabuk Bintang Tuju
Ket: Dalam peringkat ini Mossak Batak mempelajari langkah dan jurus dengan menggunakan panca indra.
4. Sabuk Tapak Seleman
Ket: Dalam peringkat ini Mossak Batak mempelajari langkah dan jurus kekuatan dari tiga benua yaitu benua atas, benua tengah dan benua bawah.
5. Sabuk Bintang Lima
Ket: Dalam peringkat ini Mossak Batak mempelajari langkah dan jurus ilmu lima jari dan lima darah manusia yang dapat disatukan dengan darah Tuhan.
6. Sabuk Siopat Suhi
Ket: Dalam peringkat ini Mossak Batak mempelajari langkah dan jurus mengenai kekuatan yang ada pada urat dan tubuh manusia.
7. Sabuk Bintang Tolu
Ket: Dalam peringkat ini Mossak Batak mempelajari langkah dan jurus serta kekuatan bumi.
8. Sabuk Bolat
Ket: Dalam peringkat ini Mossak Batak mempelajari langkah dan jurus serta menggunakan udara kesaktian dan kesucian.
9. Sabuk Ingsun
Ket: Dalam peringkat ini Mossak Batak mempelajari langkah dan jurus inti dan kunci rahasia dari seluruh sabuk yang delapan. jadi sabuk yang kesembilan ini adalah induk dari seluruh Mossak Batak.
Jika kita lihat dari seni bela diri batak ini yang terdiri dari sembilan sabuk sama dengan sembilan kitab Siraja Batak berupa peletakan peringkatnya. Jika kitab Siraja Batak dimulai dari kitab Batara Guru, maka peringkat Mossak Batak dimulai dari kitab penghakiman.
Dalam Mossak Batak ini setiap satu peringkat (sabuk) mempunyai sembilan jurus maka Mossak Batak tersebut ada 81(depalan puluh satu) jurus di tambah 19 (sembilan belas) jurus Aksara Batak, maka dengan demikian jurus Mossak Batak keseluruhan berjumlah 100 (seratus) jurus.
Sebuah cerita yang saya kutip mengenai Marmonncak menceritakan: Syahdan… ada seseorang tengah membakar api unggun di tengah Hutan, saat itu malam sangat dingin dan pekat..
dia duduk posisi berjongkok di bawah pohon durian mengarahkan kedua tangannya posisi telungkup ke arah api unggun.
posisi berjongkok itulah kemudian berobah menjadi seperti posisi setengah jongkok yg mirip seperti kuda2 sangat rendah , berganti2 kaki kiri dan kanan, mengikuti titik berat tubuh yg kadang sudah capek betumpu di kanan berganti ke kiri.
lalu sikap tangan yg ditarik karena sudah kepanasan lalu digosokkan ke badan belakang (punggung) kemudian kaget karena punggung yg dingin terkena bawaan panas dari telapak tangan.. kaget sedikit lalu menyebabkan pola perobahan sikap setengah jongkok tadi…
nah itulah menjelma menjadi sikap kuda2 pertama..
(yg dalam latihan mossak ini harus dikuasai dengan waktu yg lama)
kemudian setelah itu…. tiba2 terdengar suara dahan kering tua patah karena hembusan angin… dan jatuh hendak menimpa si orang yg sedang duduk di bawah pohon durian itu… maka “terjadilah gerakan reflek menangkis jatuhnya radahan itu supaya tidak mengenai tubuhnya dengan sikap masih setengah berjongkok tadi”. Syahdan… ada seseorang tengah membakar api unggun di tengah Hutan, saat itu malam sangat dingin dan pekat..
dia duduk posisi berjongkok di bawah pohon durian mengarahkan kedua tangannya posisi telungkup ke arah api unggun.
posisi berjongkok itulah kemudian berobah menjadi seperti posisi setengah jongkok yg mirip seperti kuda2 sangat rendah , berganti2 kaki kiri dan kanan, mengikuti titik berat tubuh yg kadang sudah capek betumpu di kanan berganti ke kiri.
lalu sikap tangan yg ditarik karena sudah kepanasan lalu digosokkan ke badan belakang (punggung) kemudian kaget karena punggung yg dingin terkena bawaan panas dari telapak tangan.. kaget sedikit lalu menyebabkan pola perobahan sikap setengah jongkok tadi…
nah itulah menjelma menjadi sikap kuda2 pertama..
(yg dalam latihan mossak ini harus dikuasai dengan waktu yg lama)
kemudian setelah itu…. tiba2 terdengar suara dahan kering tua patah karena hembusan angin… dan jatuh hendak menimpa si orang yg sedang duduk di bawah pohon durian itu… maka “terjadilah gerakan reflek menangkis jatuhnya radahan itu supaya tidak mengenai tubuhnya dengan sikap masih setengah berjongkok tadi”.Syahdan… ada seseorang tengah membakar api unggun di tengah Hutan, saat itu malam sangat dingin dan pekat..
dia duduk posisi berjongkok di bawah pohon durian mengarahkan kedua tangannya posisi telungkup ke arah api unggun.
posisi berjongkok itulah kemudian berobah menjadi seperti posisi setengah jongkok yg mirip seperti kuda2 sangat rendah , berganti2 kaki kiri dan kanan, mengikuti titik berat tubuh yg kadang sudah capek betumpu di kanan berganti ke kiri.
lalu sikap tangan yg ditarik karena sudah kepanasan lalu digosokkan ke badan belakang (punggung) kemudian kaget karena punggung yg dingin terkena bawaan panas dari telapak tangan.. kaget sedikit lalu menyebabkan pola perobahan sikap setengah jongkok tadi…
nah itulah menjelma menjadi sikap kuda2 pertama..
(yg dalam latihan mossak ini harus dikuasai dengan waktu yg lama)kemudian setelah itu. tiba2 terdengar suara dahan kering tua patah karena hembusan angin… dan jatuh hendak menimpa si orang yg sedang duduk di bawah pohon durian itu… maka “terjadilah gerakan reflek menangkis jatuhnya radahan itu supaya tidak mengenai tubuhnya dengan sikap masih setengah berjongkok tadi”.Tatkala dahan kering itu jatuh hendak menimpa tubuhnya, segera ia menangkisnya, dan terasa sakit ditangannya.
(hal ini kelak demi untuk menghilangkan penasarannya atas ketakutan selanjutnya tentang bertahan hidup di hutan, maka iapun rajin menunggu jatuhnya dahan dengan sengaja sering duduk lagi di bawah pohon tatkala malam hari. maka didapatlah dua hal penting dalam pelajaran tersebut, yakni pertama tangannya tak merasa sakit lagi dan menjadi kuat untuk menangkis jatuhnya dahan walau sebesar apapun. dan kedua ialah kesigapan serta “rasa” bahwa tanpa melihatpun ia sudah mampu dengan saat yg tepat mampu menangkis si dahan itu dengan “pas”, sehingga selamatlah kepalanya tidak terkena hantaman tersebut).
Konon Sisingamangaraja dulu kala sangat ahli dalam ilmu silat yang satu ini, ilmu ini juga yang membuat dia sangat susah untuk dikalahkan.
Saat ini Monsak sudah sangat langka, kenangan tentang para pendekar dan satria tanah batak dengan beladiri monsaknya kini hanya terdengar sebagai sebuah cerita sebelum tidur…
Budaya yang indah dari suku batak yang terkenal tegas, pemberani, dan keras itu mungkin akan semakin terkikis zaman dan mungkin bisa punah jika kita hanya membiarkan budaya tersebut semakin hilang….
Hanya satu cara menyelematkan budaya itu.. kesadaran kita sebagai generasi muda khususnya suku batak untuk melestarikan warisan leluhur yang berharga itu. Bagaimana para pembaca?, jika ada yang ingin menambahkan atau sekedar berbagi, jangan pernah sungkan untuk meninggalkan pendapat anda di artikel saya ini. Terima kasih.

SUMBER : http://batakculture.wordpress.com/2012/04/05/marmoncak-ilmu-bela-diri-dari-tanah-batak/

Mengenal Alat Musik Tradisional Batak Toba


Bangsa Indonesia dikenal dengan keberagaman Suku dan Etnisnya, hingga saat ini  ada sekitar 1300 an suku bangsa yang ada di Indonesia, setiap suku etnis ini tentunya memiliki kekhasan ada istiadat dan budaya masing masing. 
Keberagaman seni budaya yang ada di Dunia , dan di Indonesia khususnya memberi banyak pengaruh bagi peradaban manusia, demikian juga dengan seni musik, alat musik tradisional membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan musik.
Musik adalah suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan terutama suara yang dihasilkan dari alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian.(wikipedia)
Alat musik tradisional merupakan alat musik yang berkembang dalam masyarakat tertentu, biasanya musik tradisional sangat berkaitan erat dengan adat istiadat suatu suku/etnis
Untuk mendeskripsikan musik dan ensambel musik, baik yang solo instrumen, pendekatan yang dilakukan adalah bersifat organologi dengan sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan Horn von Bostel dan Curt Sach yang membagi alat musik berdasarkan lima kategori besar, yaitu :
(1) Idiofon, yaitu alat musik dengan karakter dimana badannya sendiri yang menghasilkan bunyi utama.
(2) Kordofon, yaitu alat musik yang suaranya dihasilkan akibat getaran senar atau dawai.
(3) Membranofon, yaitu alat musik yang menghasilkan bunyi dari getaran membran atau kulit.
(4) Aerofon, yaitu alat musik yang menghasilkan bunyi akibat getaran udara.
(5) Elektrofon, yaitu alat musik yang bunyinya berdasarkan kekuatan listrik.
Meskipun pendekatan organologi tersebut, untuk memudahkan masyarakat pendukung instrumen musik tersebut, maka alat-alat musik tersebut juga dikelompokkan ke dalam masing-masing etnis dengan membagi lebih rinci lagi ke dalam sistem klasifikasi Curt Sach tersebut.
Khusus tentang solo instrumen, pendekatan yang dilakukan juga adalah lebih bersifat khusus. Ada beberapa instrumen yang sebenarnya bukan merupakan alat musik yang digunakan secara umum, bahkan masyarakatnya sendiri sebenarnya tidak mengkategorikan alat tersebut sebagai instrumen musik, karena istilah musik sendiri tidak terdapat dalam budaya masyarakatnya. Namun apabila kita melihat alatnya sendiri, maka sebenarnya alat itu sendiri dapat dikelompokkan ke dalam instrumen musik.
Hal ini memang tidak dapat kita pungkiri lagi di dalam tradisi musik etnis di Indonesia. Sebagai contoh misalnya olek-olek (aerofon multi reed) yang terbuat dari satu ruas batang padi dengan pangkal ujungnya dipecah-pecah sedemikian rupa menjadi lidah (reed) untuk menghasilkan suara, dan badan batang padi itu sendiri dibuatkan beberapa lubang nada, dan pangkal ujung satu lagi dililitkan daun tebu atau enau sebagai resonator, tidak disebut sebagai alat musik. Padahal secara musikal alat tersebut sangat memeuhi syarat untuk dikatakan alat musik berdasarkan nada di dalam ruang dan waktu.
Suku bangsa Batak yang terdiri dari sub etnis  Toba, Pak-Pak Dairi, Simalungun, Mandailing, Karo, dan Pesisir Tapanuli Tengah/Angkola memiliki keunikan sendiri dan perbedaan satu sama lainya
Pada masyarakat Toba atau tapanuli utara terdapat beberapa jenis ensambel musik, yaitu gondang sabangunan, gondang hasapi, dan uning-uningan. Gondang Sabangunan merupakan ensambel musik ter besar yang terdapat di Toba. Ensambel musik ini juga digunakan untuk upacara-upacara adat yang besar. Disamping gondang sabangunan, gondang hasapi adalah ensambel lebih kecil, kemudian uning-uningan.
Sebutan untuk pemain musik ini secara keseluruhan — walaupun penyebutan untuk masing-masing instrumen juga ada disebut pargonsi (baca: pargocci). Terkadang disebut panggual pargonsi saja. Disamping ensambel tersebut juga masih terdapat alat-alat musik berupa solo instrumen dan yang digunakan sebagai alat-alat mendukung permainan atau lebih bersifat pribadi. Jika dikelompokkan secara organologi berdasarkan klasifikasi Horn von Bostel dan Curt Sach maka alat-alat musik Toba dapat dilihat sebagai berikut :
1.1. Kelompok Idiofon :
a. Oloan
Oloan adalah salah satu gung berpencu yang terdapat pada Batak Toba. Oloan dimainkan secara bersamaan dengan tiga buah gung yang lain dalam satu ensambel, sehingga jumlahnya empat buah, yang juga dimainkan oleh empat orang pemain. Keempat gung ini biasa disebut dengan ogung, namun masing-masing penamaan ogung ini dibedakan berdasarkan peranannya di dalam ensambel musik.
Oloan ini terbuat dari bahan metal/perunggu dengan sistem cetak. Sekarang ini bahan gung ini sudah banyak terbuat dari bahan besi plat yang dibentuk sedemikian rupa. Untuk membedakannya dengan suara ogung lainnya maka tuning yang dilakukan adalah dengan menempelkan getah puli (sejenis pohon enau) dibagian dalam gung tersebut. Semakin banyak getah puli tersebut, maka semakin rendahlah suara gung tersebut. Gung oloan berukuran garis menengah lebih kurang 32,5 cm, tinggi 7 cm, dan bendulan (pencu) di tengah dengan diameter lebih kurang 10 cm.
Oloan dipukul pencunya dengan stick yang terbuat dari kayu dan pangkal ujungnya dilapisi dengan kain atau karet. Gung oloan selalu diikuti oleh gung ihutan dengan ritem yang sama, namun tidak akan pernah jatuh pada ritem yang sama (canon ritmik).
b. Ihutan
Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa ihutan juga adalah merupakan gung berpencu yang digunakan dalam satu ensambel dengan tiga gung lainnya. Yang membedakannya dengan gong lainnya adalah ukurannya, bunyi, dan teknik permainannya.
Ihutan berukuran dengan garis menengah (diameter) lebih kecil sedikit dari oloan, yaitu 31 cm, tinggi (tebal) 8 cm, dan diameter pencu lebih kurang 11 cm. Ritemnya konstan dan bersahut-sahutan dengan gong oloan (litany), sehingga bunyi sahut-sahutan antara dua gong ini secara onomatope disebut polol-polol. Gong ini juga dimainkan dengan menggunakan satu stick yang terbuat dari kayu yang diobungkus dengan kain atau karet. Dimainkan oleh satu orang pemain.
c. Panggora
Panggora juga adalah satu buah gong yang berpencu yang dimainkan oleh satu orang. Bunyi dari gung ini adalah ‘ pok’. Bunyi ini timbul adalah karena gong ini dimainkan dengan memukul pencunya dengan stick sambil berdiri dan sisi gong tersebut dimute(diredam) dengan tangan. Gong ini adalah gong yang paling besar dinatara keempat gong yang ada. Ukurannya adalah garis menengah 37 cm, tinggi (tebal) 6 cm dan diameter pencunya lebih kurang 13 cm.
d. Doal
Doal juga adalah gong berpencu yang dimainkan secara bersahut-sahutan dengan panggora dengan bunyi secara onomatopenya adalah kel sehingga apabila dimainkan secara bersamaan dengan gong panggora akan kedengaran pok – kel – pok – kel dan seterusnya dengan ritem yang tidak berubah-ubah sampai kompisisi sebuah gondang (lagu) habis.
e. Hesek
Hesek adalah instrumen musik pembawa tempo utama dalam ensambel musik gondang sabangunan. Hesek ini merupakan alat musik perkusi konkusi. Hesek ini terbuat dari bahan metal yang terdiri dari dua buah dengan bentuk sama, yaitu seperti cymbal, namun ukurannya relatif jauh lebih kecil dengan diameter lebih kurang 10-15 cm, dan dua buah alat tersebut dihubungkan dengan tali. Namun sekarang ini alat musik ini terkadang digunakan sebuah besi saja, bahkan kadang-kadang dari botol saja.
f. Garantung


Garantung (baca : garattung) adalah jenis pukul yang terbuat dari wilahan kayu (xylophone) yang terbuat dari kayu ingol (Latin: …) dan dosi. Garantung terdiri dari 7 wilahan yang digantungkan di atas sebuah kotak yang sekaligus sebagai resonatornya. Masing-masing wilahan mempunyai nada masing-masing, yaitu 1 (do), 2 (re), 3 (mi), 4 (fa), 5 (so), 6 (la), dan 7 (si). Antara wilahan yang satu dengan wilahan yang lainnya dihubungkan dan digantungkan dengan tali.
Kotak resonator sendiri juga mempunyai tangkai, yang juga sekaligus merupakan bagian yang turut dipukul sebagai ritem dasar, dan wilahan sebagai melodi. Alat musik ini dimainkan dengan menggunakan dua buah stik untuk tangan kiri dan tangan kanan. Sementara tangan kiri berfungsi juga sebagai pembawa melodi dan pembawa ritem, yaitu tangan kiri memukul bagian tangkai garantung dan wilahan sekaligus dalam memainkan sebuah lagu. Alat musik ini dapat dimainkan secara solo (tunggal), namun dapat juga dimainkan dalam satu ensambel.
1.2. Kelompok Membranofon
a. Gordang
Gendang Batak Toba sering sekali disebut orang gondang atau taganing. Memang ke dua unsur tersebut terdapat dalam gendang tersebut, hanya saja secara detail bahwa gondang dan taganing meskipun keduanya adalah termasuk klasifikasi membranofon dan bentuknya juga hampir sama (hanya perbedaan ukuran), namun keduanya adalah berbeda.
Pengertian gondang sendiri bagi masyarakat Batak pada umumnya mempunyai beberapa pengertian tergantung dengan imbuhan kata apa yang melekat dengan kata gondang tersebut. Setidaknya ada empat pengertian gondang (Toba), gendang (Karo), gordang (Mandailing), genderang (Pak-Pak Dairi), gonrang (Simalungun), pada masyarakat ini, yaitu (1) sebagai nama lagu, (2) sebagai upacara, (3) sebagai instrumen, dan (4) sebagai ensambel.
Gordang adalah gendang yang paling besar yang terdapat pada masyarakat Batak Toba, yaitu gendang yang diletakkan pada sebelah kanan pemain di rak gendang tersebut. Gordang ini biasanya dimainkan oleh satu orang pemain dengan menggunakan dua buah stik. Gordang adalah merupakan bagian dari gendang yang lain (taganing).
Gendang Toba adalah salah satunya gendang yang melodis yang terdapat di Indonesia . Oleh karena lebih bersifat melodis dari perkusif, maka gondang ini menurut klasifikasi Horn von Bostel dan Curt Sach diklasifikasikan lebih khusus lagi yang disebut dengan drum-chime. Gordang merupakan gendang satu sisi berbentuk konis dengan tinggi lebih kurang 80 – 120 cm dengan diameter bagian atas (membran) lebih kurang 30–35 cm, dan dia meter bagian bawah lebih kurang 29 cm.
Gordang ini terbuat dari kayu nangka yang dilobangi bagian dalamnya, kemudian ditutuip dengan kulit lembu pada sisi atas, dan sisi bawah sebagai pasak untuk mengencangkan tali (lacing) yang terbuat dari rotan (rattan). Bagian yang dipukul dari gendang ini bukan hanya bagian membrannya, tetapi juga bagian sisinya untuk menghasilkan ritem tertentu secara berulang-ulang. Ritemnya lebih bersifat konstan.
Gordang biasanya dimainkan secara bersamaan dengan taganing. Gordang diletakkan disebelah kanan pemain(pargocci). Secara pintas gordang taganing adalah dianggap satu set karena bentuknya juga hampir sama, hanya saja dibedakan ukuran, letaknya juga dalam ensambel adalah dalam satu rak (hanger) yang sama.
b. Taganing
Taganing adalah drum set melodis (drum-chime), yaitu terdiri dari lima buah gendang yang gantungkan dalam sebuah rak. Bentuknya sama dengan gordang, hanya ukurannya bermacam-macam. Yang paling besar adalah gendang paling kanan, dan semakin ke kiri ukurannya semakin kecil. Nadanya juga demikian, semakin ke kiri semakin tinggi nadanya.
Taganing ini dimainkan oleh satu atau 2 orang dengan menggunakan dua buah stik. Dibanding dengan gordang yang rtelatif konstan, maka taganing adalah melodis.
c. Odap
Odap adalah gendang dua sisi berbentuk konis. Odap juga terbuat dari bahan kayu nangka dan kulit lembu serta tali pengencang/pengikat terbuat dari rotan. Ukuran tingginya lebih kurang 34 –37 cm, diameter membran sisi satu 26 cm, dan diametermembran sisi 2 lebih kurang 12 –14 cm.
Cara memainkannya adalah, bagian gendang dijepit dengan kaki, lalu dipukul dengan alat pemukul, sehingga bunyinya menghasilkan suara dap…, dap…, dap…, dan seterusnya. Alat musik ini juga dipakai dalam ensambel gondang sabangunan.
1.3. Kelompok Aerofon :

a. Sarune Bolon
Sarune bolon (aerophone double reed) adalah alat musik tiup yang paling besar yang terdapat pada masyarakat Toba. Alat musik ini digunakan dalam ensambel musik yang paling besar juga, yaitu gondang bolon (artinya : ensambel besar). Sarune bolon dalam ensambel berfungsi sebagai pembawa melodi utama. Dalam ensambel gondang bolon biasanya hanya dimainkan satu buah saja. Pemainnya disebut parsarune.
Teknik bermain sarune ini adalah dengan menggunakan istilah marsiulak hosa (circular breathing), yang artinya, seorang pemain sarune dapat melakukan tiupan tanpa putus-putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup sarune. Teknik ini dikenal hampir pada semua etnis Batak.
Tetapi penamaan untuk itu berbeda-beda, seperti di Karo disebut pulunama. Sarune ini terbuat dari kayu dan terdiri dari tiga bagian utama, yaitu (1) pangkal ujung sebagai resonator, (2) batangnya, yang sekaligus juga sebagai tempat lobang nada, dan (3) pangkal ujung penghasil bunyi dari lidah (reed) yang terbuat dari daun kelapa hijau yang dilipat sedemikian rupa yang diletakkan dalam sebuah pipa kecil dari logam, dan ditempelkan ke bagian badan sarune tersebut.
b. Sarune Bulu
Sarune bulu (sarune bambu) seperti namanya adalah sarune (aerophone-single reed, seperti Clarinet) terbuat dari bahan bambu. Sarune ini terbuat dari satu ruas bambu yang kedua ujungnya bolong (tanpa ruas) yang panjangnya kira-kira lebih kurang 10 – 12 cm, dengan diameter 1 – 2 cm.
Bambu ini dibuat lobang 5 biji dengan ukuran yang berbeda-beda. Pada pangkal ujung yang satu diletakkan lidah (reed) dari bambu yang dicungkil sebagian badannya untuk dijadikan alat penggetar bunyi. Lidahnya ini dimasukkan ke batang sarune tersebut, dan bisa dicopot-copot. Panjang lidah ini sendiri lebih kurang 5 cm. Sarune ini di Mandailing juga dikenal dengan nama yang sama.
c. Sulim
Sulim (Aerophone : side blown flute) adalah alat musik tiup yang terbuat dari bambu seperti seruling atau suling. Sulim ini panjangnya berbeda-beda tergantung nada dasar yang mau dihasilkan. Sulim ini mempunyai 6 lobang nada dengan jarak antara satu lobang nada dengan lobang nada lainnya dilakukan berdasarkan pengukuran-pengukuran tradisional. Namun secara melodi yang dihasilkan suling ini meskipun dapat juga memainkan lagu-lagu minor, tetapi lebih cenderung memainkan tangga nada mayor (major scale) dengan nada diatonis.
Perbedaan sulim ini dengan suling-suling lainnya adalah, suara yang dihasilkan adalah selalu bervibrasi. Hal ini dikarenakan adanya satu lobang yang dibuat khusus untuk menghasilkan vibrasi ini, yaitu satu lobang yang dibuat antara lobang nada dengan lobang tiupan dengan diameter lebih kurang 1 cm, dan lobang tersebut ditutupi dengan membran dari bahan plastik, sehingga suara yang dihasilkan adalah bervibrasi.
d. Ole-Ole
Ole-ole (Aerophone : multi-reed) adalah alat musik tiup yang sebenarnya termasuk ke dalam jenis alat musik bersifat solo instrumen. Alat musik ini terbuat dari satu ruas batang padi dan pada pangkal ujung dekat ruasnya dipecah-pecah sedemikian rupa, sehingga pecahan batang ini menjadi alat penggetar udara sebagai penghasil bunyi (multi lidah/reed).
Alat musik ini juga terkadang dibuat lobang nada pada batangnya. Banyak lobang nada tidak beraturan tergantung kepada pembuat dan nada-nada yang ingin dicapai. Hal ini karena alat ini lebih bersifat hiburan pribadi. Pada pangkal ujungnya digulung daun tebu atau daun kelapa sebagai resonatornya, sehingga suara yang dihasilkan lebih keras dan bisa terdengar jauh. Alat musik ini bersifat musiman, yaitu ketika panen tiba.
e. Sordam
f. Talatoat
g. Balobat
h. Tulila
1.4. Kelompok Kordofon
a. Hasapi
b. Sidideng (Arbab)
c. Panggepeng
d. Saga-saga
Ensambel gondang sabangunan ini terdiri dari satu buah sarune bolon (Aeropon, double-reed), terkadang juga menggunakan sarune etek (sarune kecil yang bentuknya lebih kecil dari sarune bolon sebagai pembawa melodi, satu set drum yang disebut taganing (drum-chime), yaitu enam buah drum yang digantung pada satu buah rak, dipukul oleh dua orang dengan stik.
Gondang ini adalah drum yang melodis, disamping sebagai pembawa ritem gondang ini juga pembawa melodis. Empat buah gong, yaitu odap, panggora, doal dan ihutan. Satu buah hesek, yaitu satu buah besi yang dipukul sebagai pembawa tempo.
Pada masyarakat Batak, status sosial mereka adalah dapat dikatakan tinggi dan di hormati. Oleh sebab itu, pemain musik biasanya selalu mengambil tempat lebih tinggi dari masyarakat pada umumya dalam satu upacara. Misalnya pada upacara mangalahat horbo (upacara memotong kerbau), pemain musik di daerah Toba biasanya bermain musik di rumah adat, sedangkan upacaranya sendiri dilaksanakan di halaman rumah adat tersebut. Ini juga menggambarkan simbol, bahwa musisi itu juga statusnya di hormati dan tinggi.
Ensambel gondang hasapi adalah ensambel musik dengan menggunakan hasapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi disertai alat musik sulim (aeropon, side-blown flute). Hasapi biasanya digunakan dua buah, satu hasapi ende, yaitu hasapi sebagai pembawa melodi dan satu lagi hasapi doal, yaitu hasapi sebagai pembawa tempo.
Uning-uningan adalah satu ensambel yang menggunakan instrumen yang dianggap lebih kecil dari dua ensambel musik diatas. Ensambel ini menggunakan alat musik sebagai pembawa melodi garantung (sejenis xylophone), dipukul dengan menggunakan dua buah stik. Stik ini tidak saja dipukul ke wilayah-wilayah, tetapi juga sebagai pembawa tempo dengan memukul stik yang satu kebagian tangkai garantung tersebut.

SUMBER : http://www.mahasiswabatak.com/2013/07/mengen-alat-musik-tradisional-batak-toba.html

Suku Bangsa Batak


Suku bangsa Batak adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang mendiami provinsi Sumatra Utara, tepatnya di wilayah Kangkat Hulu, Deli Hulu, Daratan Tinggi Karo, Serdang Hulu, Toba, Simalungun, Tapanuli Tengah, dan Mandailing.

Suku bangsa Batak terbagi menjadi 6 jenis, yakni suku Batak Toba, suku Batak Karo, suku Batak Pakpak, suku Batak Simalungun, suku Batak Angkola, dan suku Batak Mandailing. Keenam suku Batak tersebut memiliki ciri khas budaya yang berbeda-beda. Namun pada prinsipnya akar budaya mereka sama, yakni budaya Batak.

Asal Mula Suku Bangsa Batak

Tidak ada bukti kuat mengenai sejak kapan nenek moyang orang Batak mendiami wilayah Sumatra. Akan tetapi penelitian antropologi menunjukkan bahwa bahasa dan bukti-bukti arkeologis yang ada membuktikan hijrahnya penutur bahasa Austronesia dari Taiwan ke Indonesia dan Filipina. Ini terjadi sekitar 2.500 tahun silam. Bisa jadi mereka adalah nenek moyang suku bangsa Batak.

Tidak adanya artefak zaman Neolitikum yang ditemukan di wilayah suku Batak membuat para peneliti menyimpulkan bahwa nenek moyang suku Batak baru hijrah ke Sumatra Utara pada zaman logam. Selain itu, pedagang-pedagang internasional dari India mulai mendirikan kota dagang di Sumatra Utara pada abad ke-6.

Mereka berinteraksi dengan masyarakat pedalaman, yakni orang Batak dengan membeli kapur-kapur barus buatan orang Batak. Kapur barus buatan orang Batak dikenal bermutu tinggi.

Konsep Religi Suku Bangsa Batak - Debata Mulajadi Na Bolon

Di daerah Batak atau yang dikenal dengan suku bangsa Batak, terdapat beberapa agama, Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Agama Islam disyiarkan sejak 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak Mandailing dan Batak Angkola.

Agama Kristen Katolik dan Protestan disyiarkan ke Toba dan Simalungun oleh para zending dan misionaris dari Jerman dan Belanda sejak 1863. Sekarang ini, agama Kristen (Katolik dan Protestan) dianut oleh sebagian besar orang Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak.

Orang Batak sendiri secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini beserta isinya diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Debata Kaci-kaci dalam bahasa Batak Karo).

Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon (Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).

Menyangkut jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu sebagai berikut.
  • Tondi, adalah jiwa atau roh seseorang yang sekaligus merupakan kekuatannya.
  • Sahala, adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.
  • Begu, adalah tondi yang sudah meninggal.


Konsep Ikatan Kerabat Patrilineal Suku Bangsa Batak

Perkawinan pada orang Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki atau perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki dan kaum kerabat perempuan.

Menurut adat lama pada orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodoh. Perkawinan antara orang-orang rimpal, yakni perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, dianggap ideal. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan satu marga dan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.

Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih(keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak).

Dalam kehidupan masyarakat Batak, ada suatu hubungan kekerabatan yang mantap. Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara perempuannya.

Tiap-tiap kelompok kekerabatan tersebut memiliki nama sebagai berikut.
  • Hula-hula; orang tua dari pihak istri, anak kelompok pemberi gadis.
  • Anak boru; suami dan saudara (hahaanggi) perempuan kelompok penerima gadis.
  • Dongan tubu; saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan patrilineal.

Konsep Pemimpin Politik Suku Bangsa Batak

Pada masyarakat Batak, sistem kepemimpinan terdiri atas tiga bidang.
  1. Bidang adat. Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi berupa musyawarah Dalihan Na Tolu (Toba), Sangkep Sitelu (Karo). Dalam pelaksanaannya, sidang musyawarah adat ini dipimpin oleh suhut (orang yang mengundang para pihak kerabat dongan sabutuha, hula-hula, dan boru dalam Dalihan Na Tolu).
  2. Bidang agama. Agama Islam dipegang oleh kyai atau ustadz, sedangkan pada agama Kristen Katolik dan Protestan dipegang oleh pendeta dan pastor.
  3. Bidang pemerintahan. Kepemimpinan di bidang pemerintahan ditentukan melalui pemilihan.

Konsep Agrikultural Suku Batak - Marsitalolo dan Solu

Orang Batak bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi. Pada umumnya, panen padi berlangsung setahun sekali. Namun, di beberapa tempat ada yang melakukan panen sebanyak dua atau tiga kali dalam setahun (marsitalolo).

Selain bercocok tanam, peternakan merupakan mata pencarian penting bagi orang Batak. Di daerah tepi danau Toba dan pulau Samosir, pekerjaan menangkap ikan dilakukan secara intensif dengan perahu (solu). Konsep Bahasa, Pengetahuan, dan Teknologi Suku Bangsa Batak

Bahasa, pengetahuan, dan teknologi adalah bentuk budaya dasar sebuah bangsa atau suku bangsa. Mari kita ulas ketiga aspek tersebut pada suku bangsa Batak.

1. Bahasa

Suku Batak berbicara bahasa Batak. Bahasa Batak termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu - Polinesia. Hampir setiap jenis suku Batak memiliki logat tersendiri dalam berbicara. Oleh karena itu bahasa Batak memiliki 6 logat, yakni logat Karo oleh orang Batak Karo, logat Pakpak oleh orang Batak Pakpak, logat Simalungun oleh orang Batak Simalungun, logat Toba oleh orang Batak Toba, Mandailing, dan Angkola.

2. Pengetahuan

Masyarakat suku Batak mengenal sistem gotong royong kuno, terutama dalam bidang bercocok tanam. Gotong royong ini disebut raron oleh orang Batak Karo dan disebut Marsiurupan oleh orang Batak Toba. Dalam gotong royong kuno ini sekelompok orang (tetangga atau kerabat dekat) bahu-membahu mengerjakan tanah secara bergiliran.

3. Teknologi

Teknologi tradisional suatu suku bangsa adalah bentuk kearifan lokal suku bangsa tersebut. Suku bangsa Batak terbiasa menggunakan peralatan sederhana dalam bercocok tanam, misalnya bajak (disebut tenggala dalam bahasa Batak Karo), cangkul, sabit (sabi-sabi), tongkat tunggal, ani-ani, dan sebagainya.

Teknologi tradisional juga diaplikasikan dalam bidang persenjataan. Masyarakat Batak memiliki berbagai senjata tradisional seperti hujur (semacam tombak), piso surit (semacam belati), piso gajah dompak (keris panjang), dan podang (pedang panjang).

Di bidang penenunan pun teknologi tradisional suku Batak sudah cukup maju. Mereka memiliki kain tenunan yang multifungsi dalam kehidupan adat dan budaya suku Batak, yang disebut kain ulos.
Konsep Marga dalam Suku Bangsa Batak

Dalam "Kamus Besar Bahasa Indonesia", kata 'marga' merupakan istilah antropologi yang bermakna 'kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal' atau 'bagian daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra Selatan).

Marga adalah identitasnya suku Batak. Marga diletakkan sebagai nama belakang seseorang, seperti nama keluarga. Dari marga inilah kita dapat mengidentifikasi bahwa seseorang adalah benar orang Batak.

Ada lebih dari 400 marga Batak, inilah beberapa di antaranya:

Aritonang, Banjarnahor (Marbun), Baringbing (Tampubolon), Baruara (Tambunan), Barutu (Situmorang), Barutu (Sinaga), Butarbutar, Gultom,     Harahap, Hasibuan, Hutabarat, Hutagalung, Gutapea, Lubis, Lumbantoruan (Sihombing Lumbantoruan), Marpaung, Nababan, Napitulu, Panggabean,   Pohan, Siagian (Siregar), Sianipar, Sianturi, Silalahi, Simanjuntak, Simatupang, Sirait, Siregar, Sitompul, Tampubolon, Karokaro Sitepu, Peranginangin Bangun,  Ginting Manik, Sembiring Galuk, Sinaga Sidahapintu, Purba Girsang, Rangkuti, dll